Skenario Baru Kursi Perdamaian Yaman, Bagaimana Jika Houthi Gabung PLC?
Wacana penambahan kursi anggota Dewan Kepemimpinan Presiden Yaman atau PLC kembali mencuat di tengah kebuntuan politik dan perang berkepanjangan. Salah satu skenario yang mulai dibicarakan di kalangan pengamat adalah kemungkinan memasukkan perwakilan Houthi ke dalam struktur PLC sebagai upaya terobosan politik yang tidak lazim, namun berpotensi mengubah peta konflik Yaman secara fundamental.
Dalam skenario ini, jumlah kursi PLC ditambah dua, khusus diperuntukkan bagi figur yang mewakili otoritas Sanaa di bawah Houthi. Langkah ini tidak dimaksudkan untuk membubarkan atau melemahkan pemerintahan de facto Houthi di Sanaa, melainkan mengakui realitas kekuasaan di lapangan sambil membuka ruang koordinasi nasional yang lebih luas.
Model ini akan menciptakan dualisme yang dilembagakan. Pemerintahan Houthi tetap menjalankan administrasi harian di wilayah utara, sementara PLC berfungsi sebagai payung politik bersama yang mewakili Yaman secara kolektif dalam isu kedaulatan, diplomasi, dan masa depan negara.
Bila terwujud, PLC akan menyerupai mekanisme Dewan Kerja Sama Teluk atau bahkan kerajaan-kerajaan Teluk yang longgar, dengan perbedaan mendasar bahwa PLC adalah gabungan otoritas de facto, bukan negara berdaulat penuh. Setiap aktor mempertahankan wilayah dan kekuatannya, namun duduk dalam satu meja keputusan strategis.
Tujuan utama pendekatan ini adalah meredam konflik eksistensial. Selama Houthi diperlakukan sebagai pihak yang harus dikalahkan secara total, perang akan cenderung berlanjut. Dengan memberi kursi di PLC, konflik dipindahkan dari medan tempur ke ruang politik.
Keuntungan langsung dari skema ini adalah terciptanya saluran komunikasi permanen. Selama ini, dialog Yaman selalu bergantung pada mediasi luar, baik PBB maupun negara regional. PLC inklusif memungkinkan dialog berlangsung dari dalam struktur Yaman sendiri.
Salah satu poin paling sensitif adalah legitimasi internasional. Jika perwakilan Houthi menjadi anggota resmi PLC, mereka secara teknis dapat berbicara di forum internasional, termasuk PBB, atas nama negara Yaman. Ini akan mengakhiri paradoks selama ini, di mana pihak yang menguasai ibu kota tidak punya suara resmi global.
Bagi komunitas internasional, skema ini juga menawarkan kejelasan. Alih-alih berhadapan dengan dua pemerintahan yang saling menegasikan, dunia akan berurusan dengan satu badan kolektif yang mengakui pluralitas kekuasaan Yaman.
Namun, pertanyaan kuncinya adalah apakah Houthi akan setuju. Dari sudut pandang mereka, kursi di PLC bisa dianggap sebagai peningkatan status politik tanpa harus menyerahkan kontrol militer. Tetapi ada pula risiko bahwa keikutsertaan itu dilihat sebagai pengakuan implisit terhadap struktur politik yang selama ini mereka anggap sebagai perpanjangan intervensi asing.
Houthi juga akan menghitung untung-rugi simbolik. Mereka telah membangun narasi sebagai otoritas revolusioner yang berdiri di luar sistem lama. Duduk di PLC berarti menerima format negara yang selama ini mereka kritik.
Di sisi PLC dan sekutunya, resistensi juga besar. Memasukkan Houthi berarti menerima mereka sebagai bagian sah dari negara, sesuatu yang sulit diterima oleh kelompok yang telah kehilangan wilayah, sumber daya, dan ribuan nyawa akibat perang.
Meski demikian, sejumlah analis menilai skema ini bukan soal rekonsiliasi total, melainkan manajemen konflik. PLC inklusif tidak menyelesaikan semua masalah, tetapi dapat membekukan konflik berskala besar dan membuka ruang kompromi bertahap.
Jika berhasil, PLC bisa berfungsi seperti forum koordinasi antar-kekuasaan, mirip konsensus elite di negara-negara Teluk, yang meski berbeda kepentingan mampu menyepakati garis merah bersama demi stabilitas.
Model ini juga berpotensi menekan fragmentasi lebih jauh. Tanpa kerangka nasional, Yaman berisiko terpecah menjadi entitas kecil permanen. PLC yang mencakup Houthi dapat menjadi satu-satunya simbol persatuan yang tersisa.
Namun, risiko kegagalan juga besar. Jika tidak diimbangi mekanisme jelas soal pembagian wewenang, PLC justru bisa berubah menjadi arena veto permanen, memperlambat keputusan dan memperdalam kecurigaan.
Peran aktor regional akan sangat menentukan. Saudi Arabia kemungkinan melihat ini sebagai jalan keluar terhormat dari perang panjang, sementara Iran akan membaca sejauh mana kepentingan Houthi tetap terlindungi.
Bagi PBB, skenario ini sejalan dengan pendekatan realisme politik yang mulai mengakui aktor de facto sebagai bagian dari solusi, bukan semata masalah.
Pada akhirnya, penambahan kursi PLC untuk Houthi bukan soal idealisme persatuan, melainkan pengakuan terhadap realitas Yaman hari ini. Negara itu tidak lagi tunggal, tetapi belum sepenuhnya terpisah.
Apakah skema ini akan mempererat persatuan atau sekadar membekukan konflik masih menjadi tanda tanya besar. Namun di tengah kebuntuan total, gagasan ini menawarkan satu hal yang langka dalam konflik Yaman: sebuah jalan tengah yang belum sepenuhnya tertutup.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar