Sekjen PBB Mendesak Dunia Bantu Pemulihan Suriah, Krisis Kemanusiaan Kian Parah
Guterres menekankan bahwa Suriah berada di titik krusial dalam sejarahnya. Setelah 14 tahun perang yang berkepanjangan, rakyatnya kini menghadapi tantangan besar untuk membangun kembali negara yang hancur akibat konflik. Ia menegaskan bahwa masa depan Suriah harus ditentukan oleh rakyatnya sendiri, dan PBB berkomitmen untuk membantu mereka mencapai masa depan yang lebih baik.
Dalam pidatonya, Guterres mengungkapkan bahwa ekonomi Suriah telah mengalami kerugian sekitar 800 miliar dolar akibat perang yang berkepanjangan. Infrastruktur layanan publik seperti rumah sakit, sekolah, dan jaringan air bersih sebagian besar telah hancur. Kota-kota seperti Aleppo, Raqqa, dan Homs yang dulunya menjadi pusat ekonomi dan budaya, kini hanya menyisakan reruntuhan.
Sementara itu, di berbagai kamp pengungsian seperti di Idlib dan Raqqa, kondisi para pengungsi semakin memprihatinkan. Ribuan keluarga terpaksa bertahan hidup di dalam tenda-tenda kumuh tanpa akses yang memadai terhadap air bersih dan listrik. Ketika musim dingin tiba, suhu yang menusuk tulang membuat banyak anak-anak dan orang tua rentan terkena penyakit. Di musim panas, panas ekstrem memperburuk kondisi mereka yang tinggal dalam tenda tanpa ventilasi memadai.
Seorang pengungsi di kamp Idlib, Abu Ahmad, mengatakan bahwa ia telah tinggal di tenda selama lebih dari lima tahun setelah rumahnya hancur akibat serangan udara. “Kami kehilangan segalanya. Kami hanya ingin hidup dengan damai dan memiliki tempat tinggal yang layak,” ujarnya. Kondisi seperti ini bukan hanya dialami Abu Ahmad, tetapi juga jutaan warga Suriah lainnya yang masih menggantungkan hidup pada bantuan kemanusiaan.
Guterres menyoroti bahwa meskipun Suriah menghadapi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia, pendanaan untuk bantuan kemanusiaan masih sangat minim. Banyak program bantuan yang harus dikurangi atau bahkan dihentikan karena kurangnya dana. Akibatnya, jutaan warga Suriah kehilangan akses terhadap makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Di Raqqa, yang sempat menjadi basis kelompok ekstremis, banyak warga yang kembali ke kota mereka hanya untuk menemukan reruntuhan. Bangunan yang hancur, jalanan yang dipenuhi puing-puing, dan minimnya layanan dasar membuat kehidupan di sana menjadi sangat sulit. Banyak anak-anak tidak dapat bersekolah karena sekolah-sekolah telah rusak atau kekurangan tenaga pengajar.
Situasi ini semakin diperburuk oleh sanksi ekonomi yang masih diberlakukan terhadap Suriah. Guterres menyerukan agar dunia internasional meninjau kembali sanksi-sanksi tersebut dan mencari cara untuk memastikan bahwa rakyat Suriah dapat memperoleh bantuan yang mereka butuhkan tanpa terhambat oleh pembatasan ekonomi dan perbankan.
Di luar Suriah, jutaan pengungsi Suriah yang tersebar di negara-negara seperti Turki, Yordania, dan Lebanon juga menghadapi tekanan ekonomi dan sosial yang besar. Banyak dari mereka hidup dalam kondisi yang sangat sulit, tanpa kepastian masa depan. Di Lebanon, misalnya, krisis ekonomi yang melanda negara tersebut membuat banyak pengungsi Suriah kesulitan mendapatkan pekerjaan dan akses ke layanan kesehatan.
Dalam pesannya, Guterres juga menegaskan bahwa dunia harus mendukung upaya transisi politik di Suriah. Ia menekankan pentingnya membangun lembaga-lembaga yang inklusif dan dapat melindungi semua warga Suriah, tanpa memandang latar belakang politik atau agama mereka.
Di kamp Al-Hol, yang menampung ribuan keluarga yang terkait dengan kelompok militan, situasinya semakin mengkhawatirkan. Kekurangan pangan dan layanan kesehatan membuat para pengungsi, terutama anak-anak, menghadapi ancaman kelaparan dan penyakit. Organisasi kemanusiaan yang bekerja di kamp tersebut sering kali mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses dan pendanaan yang memadai.
Sementara itu, di kamp pengungsian di utara Aleppo, ratusan ribu orang masih bertahan dalam kondisi yang sangat sulit. Banyak dari mereka yang kehilangan anggota keluarga akibat perang dan kini harus berjuang untuk bertahan hidup. Beberapa keluarga harus berbagi satu tenda dengan keluarga lain karena keterbatasan tempat tinggal.
Guterres menegaskan bahwa dunia tidak bisa terus menutup mata terhadap penderitaan rakyat Suriah. Ia meminta negara-negara donor untuk meningkatkan kontribusi mereka dalam membantu Suriah bangkit dari krisis. Tanpa bantuan yang memadai, jutaan warga Suriah akan tetap terjebak dalam siklus kemiskinan dan penderitaan.
Selain bantuan kemanusiaan, Guterres juga menekankan pentingnya rekonstruksi Suriah. Namun, upaya rekonstruksi ini tidak akan berhasil tanpa adanya stabilitas politik yang berkelanjutan. Oleh karena itu, ia mendesak semua pihak untuk mendukung proses perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan.
Di tengah semua tantangan ini, harapan untuk masa depan yang lebih baik masih ada. Banyak organisasi kemanusiaan yang terus bekerja keras untuk memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Meski demikian, tanpa dukungan yang lebih besar dari komunitas internasional, upaya ini tidak akan cukup untuk mengatasi krisis yang terjadi.
Guterres menutup pernyataannya dengan menegaskan komitmen PBB dalam membantu rakyat Suriah mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Ia berharap agar dunia internasional dapat bersatu dalam mendukung Suriah menuju masa depan yang lebih damai dan sejahtera.
Bagi jutaan rakyat Suriah, setiap bantuan yang diberikan bisa menjadi harapan baru untuk masa depan. Namun, tanpa langkah nyata dari dunia internasional, harapan itu bisa saja sirna. Oleh karena itu, saatnya bagi komunitas global untuk bertindak dan memastikan bahwa rakyat Suriah tidak terus terperangkap dalam penderitaan yang berkepanjangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar