Ads Top

Jejak Panjang Kerajaan Pelalawan di Tepi Kampar, Riau


Sejarah panjang Kerajaan Pelalawan bermula dari jejak-jejak yang ditorehkan di tepian sungai Kampar pada akhir abad ke-14. Di wilayah yang kini dikenal sebagai Pelalawan, dahulu berdiri sebuah kerajaan bernama Pekantua. Kerajaan ini didirikan oleh Maharaja Indra, seorang bekas pembesar dari Kerajaan Temasik yang saat itu runtuh diserang Majapahit. Temasik, yang kini menjadi Singapura modern, sempat menjadi pusat niaga penting di kawasan Selat Melaka.

Setelah Temasik jatuh, Maharaja Indra memilih berlayar ke utara Sumatera dan membuka pemukiman baru di tepian Sungai Pekantua. Di sanalah, pada sebuah kawasan bernama Pematang Tuo, beliau mendirikan kerajaan Pekantua. Untuk menandai keberhasilan itu, dibangun pula sebuah candi di Bukit Tuo yang hingga kini dikenang dalam tradisi lisan sebagai Bukit Hyang atau Pematang Lubuk Emas.

Setelah wafatnya Maharaja Indra, kepemimpinan diteruskan oleh puteranya Maharaja Pura yang terus memperluas bandar pelabuhan di kawasan Bandar Tolam. Pada masa itu, pelayaran dan perdagangan antar pesisir timur Sumatera dan Semenanjung semakin ramai, menjadikan Pekantua ikut mencicipi geliat perniagaan maritim di Selat Melaka.

Kerajaan ini semakin berkembang di bawah Maharaja Laka dan Maharaja Sysya. Pada masa Maharaja Sysya, didirikan Bandar Nasi-Nasi di seberang Bandar Pekantua, memperluas pengaruh perdagangan dan pelayaran. Popularitas bandar ini sampai ke telinga Kesultanan Melaka, yang saat itu menjadi kekuatan utama di kawasan perairan Selat Melaka.

Pada masa Sultan Mansyur Syah berkuasa di Melaka, kerajaan ini mengirim ekspedisi militer ke Pekantua. Dipimpin oleh Sri Nara Diraja, pasukan Melaka berhasil menundukkan Pekantua dan mengangkat Munawar Syah sebagai penguasa setempat. Sejak saat itu, Pekantua berubah nama menjadi Pekantua Kampar dan berada di bawah kendali Kesultanan Melaka.

Ketika Melaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, Raja Abdullah dari Pekantua Kampar yang merupakan menantu Sultan Mahmud Syah ikut berperang melawan Portugis. Sayangnya, ia tertangkap dan dihukum mati. Sultan Mahmud Syah lalu melarikan diri ke Pekantua Kampar, di mana ia kemudian dinobatkan sebagai penguasa.

Setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah, ia diberi gelar Marhum Kampar dan digantikan oleh puteranya, Sultan Alauddin Riayat Syah II. Namun, karena kondisi politik di Sumatera tak menentu, baginda kemudian berlayar ke Tanah Semenanjung dan mendirikan Kesultanan Johor. Sementara itu, Pekantua Kampar diperintah oleh keturunan Raja Muda Tun Perkasa.

Di masa berikutnya, keturunan dari Johor kembali diminta memimpin di Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590, Raja Abdurrahman diutus dari Johor untuk menjadi raja di sini, bergelar Maharaja Dinda. Sejak itu hubungan Pekantua Kampar dan Johor tetap terjalin erat dalam politik dan perdagangan.

Pada awal abad ke-18, pusat kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo dan kemudian ke Sungai Rasau karena berbagai sebab, termasuk wabah penyakit. Pemindahan ini dilakukan atas keputusan Maharaja Dinda II. Dalam sebuah upacara adat, nama kerajaan pun berubah dari Pekantua Kampar menjadi Pelalawan, berasal dari kata ‘lalau’ atau ‘dilalaukan’ yang artinya ditandai atau dicadangkan.

Pelalawan berkembang pesat dalam perdagangan antar pelabuhan di sepanjang Sungai Kampar, Sungai Kerumutan, dan daerah sekitarnya. Hubungan dagang dijalin hingga ke Jambi dan Indragiri, memperkuat posisi kerajaan di wilayah timur Sumatera.

Namun, kejayaan Pelalawan sempat terguncang pada akhir abad ke-18 saat diserang oleh Kerajaan Siak. Said Abdurrahman dari Siak berhasil merebut Pelalawan dan dinobatkan sebagai penguasa dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Sejak itu, keturunan beliau memerintah Pelalawan hingga awal abad ke-20.

Sejumlah nama sultan mewarnai perjalanan Pelalawan, termasuk Syarif Hasyim, Syarif Ismail, Syarif Hamid, hingga Syarif Harun. Periode pemerintahan Syarif Harun cukup penting karena terjadi perubahan besar: jatuhnya Belanda, masuknya Jepang, dan kemerdekaan Indonesia.

Pada 28 Oktober 1945, Sultan Syarif Harun bersama orang besar kerajaan resmi menyatakan Pelalawan bergabung ke Republik Indonesia. Pernyataan ini diperkuat lagi oleh rakyat Pelalawan pada 29 November 1945. Awal 1946, Sultan Syarif Harun menanggalkan gelarnya, menandai berakhirnya eksistensi formal Kesultanan Pelalawan.

Warisan sejarah ini tetap hidup dalam tradisi lisan, naskah syair seperti Syair Siak Sri Indrapura, dan situs-situs peninggalan sejarah di tepian Sungai Kampar. Dari Maharaja Indra hingga Sultan Syarif Harun, Pelalawan mencatatkan sejarahnya sebagai kerajaan pesisir yang turut mewarnai sejarah politik dan perdagangan Selat Melaka.

Di masa kini, keturunan para bangsawan Pelalawan masih terlibat dalam adat, budaya, dan upaya pelestarian sejarah. Beberapa wazir dan keturunan kerajaan bahkan mengeluarkan maklumat untuk mendukung penertiban kawasan hutan seperti Tesso Nilo, demi melindungi warisan lingkungan dan adat Pelalawan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.