Mekkah di Sebuah Kisah dari Pustaka Alim Kembaren
TANAH KARO, SUMATERA UTARA - Sebuah narasi kuno yang terukir dalam lembaran sejarah Karo, perlahan namun pasti mulai terkuak. Kisah tentang silsilah Merga Sembiring Pagaruyung, salah satu dari lima induk marga dalam masyarakat Karo, menyimpan jejak perjalanan panjang dan pertautan erat dengan tanah Pagaruyung yang jauh di Minangkabau.
Melalui penelusuran dari manuskrip kuno "Karo dari Zaman ke Zaman", jejak-jejak leluhur ini membuka tabir tentang asal-usul dan penyebaran keturunan Sembiring di bumi Karo Haru.
Kisah ini bermula dari Pagaruyung, sebuah kerajaan yang pernah berjaya di Sumatera bagian tengah. Alkisah, seorang penguasa Pagaruyung memiliki dua putra dari ibu yang berbeda. Sang putra sulung memilih untuk menetap di Pagaruyung, melanjutkan tampuk kepemimpinan dan menjaga warisan leluhur di tanah Minangkabau. Sementara itu, sang putra bungsu memilih jalan yang berbeda, sebuah pengembaraan melintasi lautan yang kala itu masih menyimpan banyak misteri, yang dikenal sebagai Pulau Perca (Sumatera).
Dalam perjalanannya yang penuh tantangan, sang putra bungsu tidaklah sendiri. Ia ditemani oleh lima orang pengikut setia. Mereka membawa bersamanya sebuah pusaka penting, sebuah cap kerajaan bertuah yang dikenal dengan nama Cap Si Sawah, serta sebilah keris pusaka bernama Piso Bala Bari, yang merupakan pemberian dari sang kakak. Ke mana pun kaki melangkah, pusaka-pusaka ini menjadi penanda identitas dan legitimasi keturunan Pagaruyung.
Perjalanan mereka membawa rombongan ini hingga tiba di Bangko, sebuah wilayah yang menjadi persinggahan sementara. Di sana, mereka berinteraksi dan berdagang, mencoba membangun kehidupan baru di tanah rantau. Setelah dirasa cukup bekal dan pengikut, terbersitlah sebuah pertanyaan di benak kelima pengikut setia: "Bagaimana jika kita mendirikan sebuah kerajaan di sini?" Sebuah gagasan yang disambut baik oleh sang putra bungsu, yang merindukan sebuah tempat untuk berdaulat.
Maka, dipersiapkanlah sebuah perahu, dan mereka pun berlayar menuju Makkah. Di tanah suci, takdir mempertemukan sang putra bungsu dengan seorang wanita. Ia menebus wanita tersebut, menjadikannya pendamping hidup. Bersama istrinya, ia kembali ke Bangko, di mana kelima pengikutnya telah menanti. Di sanalah, di tanah Bangko, mereka mulai menata kehidupan dan membangun keluarga.
Dua tahun berlalu di Bangko, dan kebahagiaan menyelimuti keluarga kecil itu dengan kelahiran seorang putra, seorang pewaris yang kelak akan melanjutkan jejak langkah ayahnya. Tiga tahun kemudian, keraguan mulai menghinggapi benak para pengikut setia.
Mereka bertanya kepada sang putra bungsu, yang kini telah menjadi pemimpin mereka: "Wahai Raja, jika kelak engkau tiada, dan anakmu masih kecil, siapakah yang akan menjadi raja kami?"
Pertanyaan itu meresap dalam benak sang pemimpin. Ia pun mengambil langkah bijak. Ia menebus seorang wanita lain, yang ternyata adalah seorang budak dari seorang raja. Wanita inilah yang kemudian menjadi ibu bagi enam orang anak lainnya.
Namun, keenam anak ini tidaklah memiliki garis keturunan langsung dari Pagaruyung.
Merasa perlu untuk mencari legitimasi dan pengakuan yang lebih kuat, sang pemimpin mempersiapkan kembali perahunya dan berlayar menuju tanah Raja Kuala Ayer Batu. Di sana, ia berharap dapat menjalin hubungan dan memperkuat kedudukannya.
Setahun berlalu di Kuala Ayer Batu. Suatu ketika, para pengikutnya kembali bertanya: "Wahai Raja, jika engkau pergi kelak, siapakah yang akan menjadi raja kami?" Pertanyaan ini mendorong sang pemimpin untuk mengumpulkan seluruh penasihat dan orang-orang kepercayaannya. Di hadapan mereka, ia menyampaikan amanat dari ayahnya, sang Raja Pagaruyung.
"Kalian berenam yang tertua," kata sang ayah melalui utusannya, "kalian semua adalah raja. Namun, cap kerajaan Cap Si Sawah dan keris pusaka Piso Bala Bari berada di tangan anakku yang bungsu, karena dialah yang kuberi." Sang ayah berpesan kepada para penasihat untuk tidak menentang keputusan tersebut. Para penasihat pun tunduk dan berjanji untuk menghormati wasiat raja.
Setahun kemudian, ayahanda mereka wafat. Upacara pemakaman pun digelar dengan segala kebesaran dan adat istiadat yang berlaku. Para penasihat kerajaan, yang telah ditunjuk oleh almarhum raja, mengemban tugas untuk menjaga pusaka kerajaan dan mendukung putra bungsu, yang kini berhak atas Cap Si Sawah dan Piso Bala Bari. Namun, keenam anak yang lebih tua menunjukkan penentangan.
Setahun berikutnya, penobatan putra bungsu kembali diupayakan. Namun, lagi-lagi, keenam saudara tirinya menunjukkan perlawanan. Hal ini terus berulang hingga empat kali penobatan, selalu diwarnai dengan penolakan dan intrik dari keenam saudara tiri tersebut.
Di tengah situasi yang penuh ketegangan, muncullah sosok keramat dari Kerangen. Sosok tinggi besar dengan tongkat di tangan dan kesain (sejenis kain) yang tersampir di bahunya, mendatangi kediaman sang pemimpin. Tanpa banyak bertanya, ia mendengarkan dengan seksama kisah yang dituturkan. Ia memahami bahwa putra bungsu inilah yang berhak atas warisan kerajaan.
Namun, keenam saudara tiri tetap bersikeras menentang.
"Dunia ini terbalik," gumam sang Keramat. "Terbalik, terbalik," timpal keenam saudara tiri dengan nada sinis. Merasa geram dengan kesombongan mereka, sang Keramat mencabut tongkatnya. Ajaibnya, dari lubang bekas tongkat itu memancarlah air yang deras, membanjiri sekeliling tempat itu. Dunia pun tampak benar-benar "terbalik".
Melihat kejadian aneh itu, putra bungsu segera mempersiapkan perahunya. Ia membawa serta seluruh harta benda dan pusaka kerajaan, Cap Si Sawah dan Piso Bala Bari. Ia berlayar menuju Alas, sebuah wilayah yang menjadi tujuan pengembaraannya. Di sana, ia membuka lahan dan mendirikan sebuah perkampungan yang kemudian dikenal dengan nama Ketangkuhen. Ia menjadi manusia pertama yang menetap di sepanjang aliran Sungai Alas. Di sana pula, ia menikah dan dikaruniai dua orang putra.
Kelak, kedua putranya inilah yang akan melanjutkan jejak leluhur mereka di tanah Karo. Ayah mereka, sang putra bungsu dari Pagaruyung, yang juga dikenal sebagai Raja Bangko dan penerima warisan Raja Kuala Ayer Batu, akhirnya menghembuskan napas terakhir, meninggalkan warisan yang akan terus dikenang dalam sejarah Karo.
Dibuat oleh AI. Lihat Sumber
Silsilah Merga Sembiring Pagaruyung
Silsilah Sembiring Pagaruyung : Kembaren, Sinulaki (Silalahi), Keloko (Haloho), Sipayung (Sinupayung)
Dikutip dari buku Karo dari Zaman ke Zaman, PUSTAKA ALIM KEMBAREN (Terjemahan LIPI) Diedit seperlunya sesuai kebutuhan redaksi tanpa mengurangi makna aslinya dalam bahasa Karo.
PUSTAKA ALIM KEMBAREN (red)
(sejarah kedatangan merga Kembaren ke Karo-Haru)
(I)
-seh i Karo-Haru-
Lit me ndube anak Pagaruyung dua sembuyak, duna nande; sintua tading Pagaruyung, singuda laws ngkelewati Pulo Perca enda, renen inganna, iban ia denga jelma ibas Pulo Perca enda. Amin empak apa pe ia lawes, ibabana nge cap surat kerajan, CAP SI SIWAH, PISO BALA BARI, piso kerajan si bereken kakana ndubé. Rusur nenna inganna, langnga ia jumpa bagi ukurna tengteng; si kitik kitiksa, si mbelin mbelinsa. Émakana seh ia i BANGKO, redagang ia i BANGKO. Enggo cukup sinuwan-sinuwanna : “kugapa kita énda raja?” nina ginemgemna si lima kalak. “Metunggung me kuta, diberu sopé lit”. Tuhu até RAJA. Maka nisiapna perahuna, makana relayar ia ku MAKKAH. Maka jumpa ia diberu, maka itebusina diberu sisipulusa (sisepulusada). Maka nibabana ku BANGKO, maka igenepkennna ternogal sada si lima kalak. Tading bana enem.
Lit dua tahun i BANGKO, tubuh anakna ternongal sada anakna, anakna pelin-pelin dilaki. Maka lit telu tahun, nungkun ginemgemna ku RAJA BANGKO : “RAJA! Adi la kam pagi i jénda, nterem anakndu, apai RAJA kami?” Tuhu até RAJA ; iban jelma rutang-rutang nandéna itebusina ; RAJA ndubé nandéna. Si enem é lahang. Maka i siapna me perahuna, relayar RAJA BANGKO ku taneh RAJA KUALA AYER BATU.
Lit setahun ia i BANGKO, nungkun rayatna : “RAJA, nde lawes kam pagi, apai RAJA kami ?” É maka i pepulung RAJA me singerana, pepulungna amakna kerina. É maka i turiken BAPANA (raja-red) me katana : ém kéna enem si mbelinna” nina BAPANA, “ndé raja, raja nge kéna kerina. Tapi cap kerajan CAP SI SIWAH, ras PISO BALA BARI kerajan inganna bas si kitik(singuda-red ) énda, ban ia beberé raja. “Ula ko pagi erlawan” nina BAPANA petangarkenna ku si NGERANA. “Ndé bagé nindu bapa, isé si ngelawan katandu?
Seh tahunna sada, mate BAPANA. Makana niaturken beras, kerbo, sitadingken BAPANA ndubé. Makana ni tangkuhken singerana(setara penasehat kerajaan-red) si tangkuhken BAPANA ndubé, ban bana cap kerajan, ban anakna si beberé RAJA KUALA AYER BATU. Ngelawan si enem.
Reh tahunna sada tangkuhkenna ka. Ngelawan si enem. Dem empat kali itangkuhken beberé raja. Rusur ngelawan anak si enem.
É maka piah reh KERAMAT-KERAMAT KERANGEN nari, nggedang mbelin, maba tungkatna, pajekkena kesayan(kesain-red), lawes ia ku rumah, sungkunina RAJA. La lit sungkunina turi-turinna. Patut nge si beberé raja-raja. Ngelawan anak si enem. “Lengleng doni” nina KERAMAT. “Lengleng, lengleng,” nina si enem. Lawes KERAMAT, cabutna tungkatna. Lawes ia, luwar(ndarat-red) layo(lau-red) sarah lubang tungkatna, lengleng me tuhu.
Siapna me perahu si beberé raja, babana ku rumah, tamana erta-ertana jé ras cap kerajan, CAP SIWAH, cap PISO BALA BARI kerajan. Layarkenna perahuna ni ALAS, tangkuh ni ALAS. É maka ibanna jumana, jadi kuta tergelar Kétangkuhen, ia lebé ku lau ALAS manusia. É maka ia empo. Tubuh anakna dua. É maka piah mbelin anakna. Mate BAPANA. BAPANA RAJA BANGKO, beberé RAJA KUALA AYER BATU.
(II)
Perlajangen
É maka lawes singuda, babana cap surat kerajan, CAP SIWAH. Tadingkenna PISO BALA BARI kerajan man si ntua. Lawes si nguda, ibabana ginemgemna ku LAU PETANI, ban ia lebé mantek kuta ngalur-ngalur LAU PETANI MABAR, anak si nguda.
Anak si ntua tading ni ALAS, RAJA KETANGKUHEN. É maka reh jelma sada kabangken Layang-Layang, ndabuh ni ALAS. Jumpa Raja KETANGKUHEN. Tubuh anakna, dua dilaki. Peganci-ganci RAJA. Maka piso kerajan ras si kabangken Layang-layang. Siding man si kabangken Layang-layang piso kerajan.
Mate bapana. Pindo anak raja piso bapana. La ia nggit si Kabangken Layang-layang merékenca. Jadi-jadi me pengulu si kabangken Layang-layang, ban piso RAJA BANGKO nge. Mesui até anak RAJA. “Jenda kam” nina si ntua, “pindo pisonta man pengulu, lawes aku ku Teba, ndahi seninanta si enem” nina empak agina.
Nggo lawes ia ku Teba ndahi seninana si enem. Dapetina nggo jadi RAJA TEBA SELAKI. Maka tergelar TEBA SELAKI : uis Teba mahansa ia la mate. Lit anakna, banna kutana PAROPO. Mbelin anakna lawes ia ku PAKPAK ndahi senina si enem. Dapetina nggo jadi RAJA PAKPAK. Maka tergelar PAKPAK EMPAK EMPAK ndube celampongna. Kutana MARTOGAN. Empo anakna si enem, banna kutana MARTOGAN. Empat naring kenca nggeluh, anak si enem ndube. Empatna jumpasa. Emaka ia empo ka. Dua kali ia nggo empo, la lit anakna dilaki.
Anak RAJA KETANGKUHEN nari empat, si ntua naring, sada si nguda. E maka mate bapana. Mbelin anakna, anak si nguda la tergeluhisa bana. E maka lawes ia ku JAHE-JAHE.
Seh ia JAHE-JAHE banna kutana tepi-tepi LAU BIANG, kawes kahe-kahe, retapinken LAU MBELIN. Pajekna bere-berena pengulu balang, AJI MANERING, sembahenta. Maka tergelar kutana ngesahkenca RAJA PERTIBI. Ia lebe-lebe bengket ngalur-ngalur LAU BIANG. E maka i empoina beru GINTING, reh tahunna dua, maka niempoina beru JAMBUR BERINGIN, anak RAJA KUTA BULUH.
(III)
Perang Pemena
Reh tahunna sada, reh musuh picet. Maka ni legina seninana si empat ku MARTOGAN. “O kaka”, nina empak kakana, “di la kin mela surung me tading PERTIBI, ban musuh” nina ku kakana. “Di bage nindu, lawes kita” nina kakana, pengulu MARTOGAN. Ngikut telu kalak kakana si empat. Seh ia RAJA PERTIBI kuta agina: “O kaka, kai aturen?” “Bujang-bujang si pitu. Suruh nurih bengkuang, pepulung durina”. “Nggo pulung durina”. “Tanggerken belanga kawah, tama ipuh si bolar, ulasi duri bengkuang”. Tama PERUMANG pengelimunen. Cir-cir PERMINAK SAGI duri bengkuang kelewet musuh.
Terang wari, bukaken musuh. E maka luar musuh. Asa pa luar, ase kena; asa pa kena, ase mate. Talu musuh. Dung lengnga musuh. Nde je denga pengulu MARTOGAN, la pang musuh merangsa PERTIBI. Mbiar ia ban sada PERUMANG, sada PERMINAK SAGI, sada PENGELTEP PENGULU MARTOGAN. Pengulu PERTIBI la pang itadingken kakana pengulu MARTOGAN. Reh tahunna dua lengnga kang dung musuh. Darami pengulu PERTIBI diberu empon pengulu MARTOGAN, penagangina. Sungkunina si ntua, ia la pet diberu manusia ban ia PERUMANG. E maka i sungkunina PERMINAK SAGI. Mberat-mberat katana. Ni pe empo pengulu PERTIBI, ban mbiar tadingken kakana.
Ban PERMINAK SAGI, lawes ia ku juma, ban page mbages, mcigeregasgas uwili. Man si karabenna: “lawes aku ku juma muro uwili. Sibar ciger pagi aku ku rumah”, nina empak tukurmasna(ndeharana-red.). Lawes ia ku juma salih jadi HARIMO. Seh lingge ku juma tukurmasna, embahken nakan. Seh ia i juma, nenna sapo, la ia sapo. Ikutkenna ku duru juma, jumpa ia HARIMO, pan HARIMO, besur man. Lawes ia ku rumah enggo jadi jelma. Ni nenna tukurmasna, “enggo ku juma” nina kalak. Ikutkenna ku juma, ikutkenna ku duru, enggo mate. Lawes ia ku rumah;”O agi, nggo pengindo sirang sembuyak. Maka bage ningku: enggo kakandu mate kubunuh. La gunana aku megasgas ku manusia. Nde tumbuk pagi gatipna, adi pagi gelarna HARIMO KEMBAREN, pantangkenndu agi!”.
(IV)
Beru JAMBUR BERINGIN
Beru JAMBUR BERINGIN la erpemupus, tukurmas pengulu PERTIBI, rusur nggerge. Si JAGAT pe aru denga ate pengulu PERTIBI lawes. “Enggo labo bage kaka! Kam naring mere nakan sira agindu si beru JAMBUR BERINGIN. Lanai aku ngasup meresa. Nde ni ulihken ceda, nde kam mbere nakan sira. “E di enggo kita sembuyak” nina pengulu PERTIBI pak SI JAGAT.
E maka lit kerajan pengulu PERTIBI ngalokenca, ban ia lebe mantek PERTIBI. Emaka mentas kerbo ALAS nari pengulu PERTIBI ngaloken cuke taneh, sebab ia anak sintua. “Maka ola rubat sarah pudi ateku”, nina pengulu PERTIBI. E maka “entah enterem pagi kuta maka ola rubat arah pudi karina”, nina pengulu PERTIBI. Sabab enggo man SI JAGAT BERU JAMBUR BERINGIN, tukur mas pengulu PERTIBI. Sabab mbelang musuh maka man SI JAGAT, maka ula lawes ate pengulu PERTIBI. E maka enggo kita sembuyak PERTIBI”.
(V)
Perang Peduaken
Reh tahunna empat sikel talu KUTA BULUH perang musuh. Maka reh musuh, sabab enggo erdemu ras PERTIBI. Sikel talu kesayan KUTA BULUH. E maka: “je jangku enda la gunana”, mela ate pengulu KUTA BULUH. E maka dahina silihna si JAGAT ku PERTIBi. Jumpa ia ras silihna. “O silih”, nina pengulu KUTA BULUH pak silihna si JAGAT. “Nde, la atendu mekuah, surung me tombang KUTA BULUH”. “Nde bage nindu silih, lawes kita”, nina silihna Si JAGAT. E maka lawes silihna si JAGAT ras tukurmasna BERU JAMBUR BERINGIN ku KUTA BULUH. Enggo she KUTA BULUH:”Kai aturen silih”, nina silihna pengulu KUTA BULUH. “Aturen bujang-bujang si pitu. Suruh nurih bengkuang, pepulung durina, nitanggerken belanga kawah, tama ipuh si bolar, ulasi duri bengkuang. Maka nicircirken kelewet kuta, maka nibukaken me musuh. Hasapa luar musuh, ase kena: asa pa kena, ase mate. Maka talu me musuh dung lengnga kang. E maka tahunna dua, ibahan silihna Si JAGAT kutana NGGALAM.
Maka tubuh anak dilaki. Maka nitenahken silihna raja KUTA BULUH. Emaka reh silihna ku NGGALAM. Lit ia dua berngi ni NGGALAM. “Sibalenglah taneh enda, maka ola pagi rubat anak arah pudi”, nina silihna pengulu KUTA BULUH nandangi silihna Si JAGAT. “Bage kin nindu, bage”, nina silihna Si JAGAT, erkata nandangi silihna raja KUTA BULUH, keturunen SUKA TENDEL nari. E maka, “reh kam pagi” nina raja KUTA BULUH. E maka reh silihna Si JAGAT, ngadi ia ersembah iban e di bere-berenna.
E maka dapeti RAJA KUTA BULUH, e maka “rebaleng-baleng kita” nina RAJA KUTA BULUH nandangi Si JAGAT. Emaka tuduhken silihna Si JAGAT baling alu eltep, dapetkenca ingan ersembah: dapetkenca NGGALAM, terus ku LAU MBURIDI, ikut kahe-kahe, she ku LAU BIANG, ikut kahe-kahe, DAMAK ujungna, “tanehku” nina silihna Si JAGAT nandangi silihna RAJA KUTA BULUH. Maka nikawatkenna kawes kahe-kahe terus ku LAWET(lawit,laut-red.) terus ku TANGKUHEN. E maka i cibalkenna eltepna. E makana ni tuduhken silihna KUTA BULUH si arah tuduhken silihna ndai kang, tuduhken ku LAU BIANG ikutkenna kahe-kahe, terus ku lawet, arah kemuhun kahe-kahe. “tanehku, sibarapi terdungkuh sora bedilku enda silih”, nina RAJA KUTA BULUH nandangi Si JAGAT. E maka tulkasna bedilna ndarat. E maka mulih RAJA KUTA BULUH ku kutana. Mulih Si JAGAT ku NGGALAM.
(VI)
BULANG KERAJAN
Reh bulanna sada, e maka retenah Si JAGAT ku KUTA BULUH: “gular buburendu”, nina silihna si JAGAT mpak pengulu KUTA BULUH. Maka ni gular mama pengulu KUTA BULUH nu gular buburena Si BULANG KERAJAN. “Maka Si BULANG KERAJAN pe ningku, iban RAJA kam BANGKO, keturunen RAJA PAGARUYUNG nari, iban RAJA kam Ni ALAS, ban RAJA kam ni MABAR, RAJA kam ni TUMBA, RAJA kam Ni PAKPAK, RAJA kam Ni PERTIBI, terus ku lawet RAJA kam. KUTA BULUH enda: “ E maka Si JAGAT tuhu BAPA SI BULANG KERAJAN.
(VII)
PENGALON CUKE
“E de bage belangna kurajanku, pintur kualoken cuke KUALA, nde kuiyani “KUALA PINTUR”, nina raja KUTA BULUH. “Ndarat danci, diyani Si JAGAT “PINTUR”, nina RAJA KUTA BULUH. “Nde ndarat kai kin man alonken?” “Kuda, kerbo, sangkan muntas sarah taneh enda, de adi kurajat gularna” nina pengulu KUTA BULUH. E maka inganna ngalokenca PERTIBI ban e di taneh si ntua. Asa pa kuda, kerbo, sangkan mentas, ialoken bapa BULANG KERAJAN.
(VII)
SINURSUR RAJA
Maka tubuh anakna enem. Sada ku SUNGKUN BERITA. Sada ku LAU MBENTAR. Sada ku SAMPERAYA. Telu lawes ku JUNG DELENG. Sada ku BATU MAMAK. Sada ku KURUAS, maka ku tampe-tampe LAU NTEBAH. Ibahanna jumana pajekkena sapona, tarumna padang. Jadi-jadi me kuta, maka tergelar SAPO PADANG. Lit sada sundut tubuh me anakna telu dilaki SI NGUDA ku kuta KELANGE, si ntengah ku kuta CIH. Si ntua tading i SAPO PADANG. Lit sada sundut, dua sundut, tubuh anakna enem, sada ku DELENG SILUNGKUTEN. Sada ku TULODEH. Sada ku BATU KATAK. Telu tading i SAPO PADANG, sada anak si ntua, sada anak si ntengah, sada anak si nguda. Anak si ntua sada dilaki. Anak si nguda dua dilaki. Mate anak si ntua, lalit nadingken anak dilaki, mate si ntua tading si nguda. Iyankenna tukurmas kakana si lanadingken anak dilaki. Ipupusna anak dilaki sada. Emaka iyankenna tukurmas kakana, sada ka anakna, anak dilaki, bas tukurmasna si ndube sada.
Disadur seperlunya dari :
J.H. NEUMANN dalam buku KARO DARI ZAMAN KE ZAMAN karangan BRAHMA PUTRO-1979.
Dan di edit sesuai kebutuhan redaksi
Berikut adalah perkampungan MERGA KEMBAREN :
KETANGKUHEN-ALAS-sekarang berada di Provinsi ACEH.
LAU PETANI-sekarang berada di Kabupaten DELI SERDANG
LAU MABAR (MABAR)-sekarang berada di Kabupaten DELI SERDANG
PAROPO-sekarang berada di Kabupaten DAIRI (pinggiran DANAU TOBA)
MARTOGAN-sekarang berada di Kabupaten PAKPAK BHARAT.
PERTIBI-sekarang berada di perbastasan Kabupaten KARO dan LANGKAT.
NGGALAM-sekarang berada di Kabupaten KARO
TUMBA-sekarang berada di Kabupaten DAIRI (pinggiran DANAU TOBA)
LAU MBENTAR-sekarang berada di Kabupaten KARO.
SAMPERAYA-sekarang berada di Kabupaten KARO.
KUTA PENGKIH-sekarang berada di Kabupaten KARO.
JUNG DELENG-sekarang berada di Kabupaten KARO
BATU MAMAK-sekarang berada di Kabupaten KARO.
KURUAS-sekarang berada di Kabupaten KARO.
LAU NTEBAH-SAPO PADANG-Kabupaten KARO.
BAH OROK (BAHOROK) sekarang berada di Kabupaten LANGKAT.
KELANGE-DELI SERDANG?
KUTA CIH-DELI SERDANG?
DELENG SILUNGKUTEN-?
TELODEH-?
BATU KATAK-?
Semua ini adalah perkampungan tua merga KEMBAREN, sedangkan perkampungan yang muda/baru adalah :
Liang Melas
Gunung Meriah(KARO)
Gunung Meriah(perbatasan DELI SERDANG dan SIMALUNGUN) di desa-desa sekitarnya merga Kembaren umumnya menjadi Kalimbubu Kuta.
Sembahe(DELI SERDANG)
Bingkawan(DELI SERDANG)
Kuala(LANGKAT)
Daerah sekitar DELI HULU
Daerah sekitar LANGKAT HULU
Daerah sekitar perbatasan DELI SERDANG-SIMALUNGUN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar