Mungkinkah Regime Change di Israel Terjadi?
Serangan udara yang dilancarkan Israel terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran, disusul operasi serupa oleh Amerika Serikat, telah memunculkan berbagai spekulasi geopolitik di kawasan Timur Tengah. Di tengah narasi yang berkembang soal kemungkinan pergantian rezim di Teheran, muncul pula pertanyaan berani: mungkinkah justru Israel yang lebih dulu mengalami regime change?
Beberapa pengamat politik kawasan menilai skenario itu bukan hal yang sepenuhnya mustahil. Mengingat situasi sosial-politik di Israel sendiri tengah terbelah akibat kebijakan keras pemerintah terhadap Gaza dan ketegangan internal terkait isu keberlanjutan perang. Ditambah dengan penolakan sebagian kalangan atas kepemimpinan Benjamin Netanyahu yang dianggap terlalu agresif.
Skenario pertama yang berpeluang terjadi adalah gerakan rakyat dari dalam Israel sendiri, yang didukung komunitas Arab 48, etnis Druze, serta warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Jika kelompok-kelompok ini mampu membangun aliansi dengan warga Yahudi Israel pro-perdamaian, sebuah gelombang penolakan terhadap rezim saat ini bisa terbentuk.
Upaya tersebut bisa berupa unjuk rasa besar, pemogokan nasional, hingga tekanan politik di parlemen. Meski demikian, upaya seperti ini tidak akan berlangsung mulus. Besar kemungkinan konflik horizontal terjadi antara kelompok pro-perdamaian dengan kubu sayap kanan dan ultra-nasionalis yang selama ini mendukung Netanyahu.
Jika skenario ini berhasil, wajah baru Israel mungkin terbentuk. Ada dua kemungkinan, yakni konsep two-state solution dengan berdirinya negara Palestina merdeka berdampingan dengan Israel, atau konsep single-state di mana Palestina dan Israel dilebur menjadi satu negara sekuler. Konsep Isratine yang pernah diwacanakan Muammar Khaddafi bisa saja kembali dibahas.
Namun, jalan menuju skenario ini dipenuhi rintangan besar. Salah satunya adalah kemungkinan adanya intervensi Amerika Serikat yang memiliki kepentingan strategis di Israel. AS selama ini menjadi pelindung utama Israel di forum internasional, dan perubahan kekuasaan di Tel Aviv dikhawatirkan merusak keseimbangan yang sudah lama dijaga Washington.
Selain itu, kekuatan militer Israel yang sangat kuat dan pengaruh kelompok lobi pro-Israel di luar negeri bisa menjadi penghalang utama. Para pemimpin militer Israel tentu tidak akan tinggal diam menghadapi ancaman pergantian rezim. Situasi ini bisa memicu kudeta militer atau pemberlakuan darurat sipil.
Skenario kedua yang lebih realistis adalah kejatuhan Netanyahu melalui mekanisme parlemen. Israel mengenal sistem parlementer di mana perdana menteri bisa dijatuhkan lewat voting mosi tidak percaya di Knesset, parlemen Israel. Jika mayoritas anggota Knesset menolak kepemimpinan Netanyahu, maka pemerintahannya bisa dibubarkan.
Namun, jalan menuju mosi tidak percaya itu pun tidak mudah. Koalisi Netanyahu saat ini meski rapuh, masih cukup kuat dengan dukungan partai-partai sayap kanan religius. Butuh manuver politik besar dan keberanian sejumlah anggota parlemen membelot dari koalisi agar voting seperti itu berhasil.
Belum lagi tekanan politik dari AS dan kelompok lobi Zionis internasional yang berkepentingan mempertahankan Netanyahu demi kesinambungan agenda kawasan, terutama terhadap Iran dan Palestina. Bahkan isu keamanan nasional kerap dijadikan alasan untuk menunda voting parlemen di saat genting.
Kendala lain adalah ketakutan sebagian warga Israel terhadap ketidakstabilan internal jika Netanyahu jatuh. Meski kebijakan militernya keras, banyak warga Israel yang masih mempercayai Netanyahu khususnya dalam melakukan teror di Timur Tengah dan melanjutkan genosida di Gaza. Kondisi ini membuat upaya menjatuhkannya sulit mendapatkan dukungan luas.
Selain itu, potensi kekosongan kekuasaan usai jatuhnya Netanyahu juga menjadi masalah. Hingga kini, belum ada tokoh oposisi kuat yang bisa menyatukan suara mayoritas rakyat Israel di tengah situasi geopolitik yang tegang. Kekosongan ini berisiko memicu kekacauan politik domestik.
Meski demikian, tekanan ekonomi akibat biaya perang yang membengkak serta ketegangan sosial internal bisa menjadi pemicu perubahan mendadak. Jika dalam waktu dekat muncul kasus korupsi baru atau kegagalan militer besar, peluang voting mosi tidak percaya bisa kembali terbuka.
Apapun skenarionya, baik perubahan rezim lewat revolusi rakyat atau lewat parlemen, keduanya akan mengguncang peta politik Timur Tengah. Jika Israel mengalami pergantian kepemimpinan, relasi dengan Iran pun bisa berubah. Ada kemungkinan perundingan damai dibuka kembali dan ketegangan kawasan mereda.
Namun, pihak paling dirugikan dari skenario perubahan rezim di Israel adalah AS dan sekutunya di kawasan. Hilangnya Netanyahu bisa mempersulit kontrol geopolitik Washington atas kebijakan militer Israel, sekaligus melemahkan posisi AS dalam mengatur isu nuklir Iran.
Sebaliknya, bagi Iran, perubahan kekuasaan di Tel Aviv bisa menjadi peluang emas. Pemerintahan baru Israel yang lebih moderat berpotensi membuka kanal diplomatik baru dengan Tehran. Mimpi damai kawasan bisa saja menjadi kenyataan meski tentu saja tidak dalam waktu dekat.
Meski skenario regime change di Israel masih sebatas spekulasi, gelombang protes sosial yang terus membesar dan kecaman internasional atas kebijakan Gaza menunjukkan bahwa kondisi politik Tel Aviv mulai retak dari dalam. Pertanyaan besarnya tinggal soal waktu dan momentum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar